Iklan Atas

Blogger Jateng

Apa Nama Baumu? | Cerpen Yetti A. KA


MESIN pemotong meraung-raung di belakang rumah. Tetangga sedang memotong rimbunan rumput liar. Bau rumput yang dipotong menguar. Aku tidak bisa menjelaskan baunya itu. Bukan wangi seperti bau parfum. Bukan busuk seperti bau bangkai.

Aku sering menemukan bau yang tak bernama. Bau hujan. Bau tanah kering. Bau kayu tua. Bau buku. Kau juga adalah sebuah bau. Kau mirip bau rumput yang dipotong itu. Bau yang membuatku mendadak sedih. Tidak. Bau rumput itu tidak mengirimkan sesuatu yang ngilu. Namun, aku tetap ingin menangis karena aku teringat kepada baumu.

Jadi apa nama baumu itu?

“Aku ingin mati,” katamu satu minggu sebelum kau ditemukan membeku dengan gaun tidur putih tipis berpola dedaunan—foto gaun tidur itu sempat kau pamerkan kepadaku ketika kau baru membelinya dari sebuah butik—di ranjangmu.

“Aku ingin mati,” katamu berulang kali. Dan kau memang akhirnya mati. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu saat berada di ranjang itu dan kau pelan-pelan membaringkan tubuhmu. Kau telentang, merapikan tangan di kedua sisi tubuhmu, perlahan memejamkan mata, hingga kau memasuki detik-detik kematianmu.

Aku sama sekali tidak tahu apa dadamu terlonjak keras pada saat malaikat mencabut rohmu. Tidakkah ia—malaikat itu—melakukannya terlalu keras? Apa kau menggumamkan sesuatu? Apa kau berteriak dan ketakutan? Apa kau masih berkata untuk terakhir kali, “Aku ingin mati.” Siapa yang kau ingat ketika itu? Apa kau menangis? Mungkin tidak. Aku tahu kau sudah lama berhenti menangis.

“Apa air mata bisa habis?” tanyaku saat kau bilang hidupmu terlalu kering dan kau bahkan tak lagi bisa mengeluarkan beberapa butir air mata.

Seingatku, dari kecil aku terlalu banyak menangis. Teman-temanku jahil semua. Mereka memecahkan balonku. Aku menangis. Mereka menarik rambutku. Aku menangis. “Kau ini punya air banyak sekali, jangan-jangan kau anak lautan ya?” tanya salah satu dari mereka sambil terkekeh-kekeh. Aku belum pernah melihat lautan. Aku mengangguk begitu saja. “Ya, aku anak lautan.”

“Kalau kau anak lautan berarti kau terbuat dari air. Ih, seram,” timpal yang lainnya. Aku kembali menangis karena aku tidak pernah menyangka kalau aku ini terbuat dari air dan itu menyeramkan. Dan air mataku tidak henti-henti mengalir. Ibuku yang sudah mati dan fotonya kutempel di dinding kamar, berkata, “Mereka hanya sekumpulan anak nakal. Jangan didengarkan. Mereka sengaja mau menyakitimu.”

Aku memang sering mengadu kepada ibuku pada waktu itu dan aku sangat percaya kepadanya. Orang yang sudah mati mana mungkin berbohong, karena hal itu tidak akan berguna baginya, pikirku.

Akan tetapi, kali itu, ibuku ternyata salah tentang mereka. Bertahun-tahun setelah itu, aku mencari lautan dan aku masuk ke dalamnya dan aku merasa menemukan diriku yang seutuhnya. Aku pun berubah menjadi lautan dengan ombak dan karangnya, pasir dan binatang-binatang laut, rumput dan ikan-ikan, perahu-perahu nelayan mengapung dan kapal-kapal besar berlayar menuju samudera luas. “Kau terus berpikir menjadi lautan?” tanyamu sebelum kau sampai pada hari-hari yang membuatmu ingin mati dan ingin mati saja.

“Ya,” jawabku malu karena mungkin kau menganggap aku ini anak kecil. Pipiku yang gelap mungkin bertambah gelap.

Kau tidak mengatakan apa pun. Kau memang tidak banyak bicara. Temanmu sedikit sekali. Mungkin hanya ada lima di dunia ini. Aku salah satunya. Saat pertama kali bertemu, kau berumur 35, aku 25. Kau bilang, “Waktu seusiamu, aku merasa bisa menjadi apa saja, termasuk mengubah diri menjadi bermacam-macam binatang atau benda-benda. Tapi kemudian aku memilih menjadi malam.”

“Kau memilih menjadi apa?” tanyaku kurang yakin.

“Malam. Malam yang gelap,” katamu.

Lalu kau mati. Lalu aku tak pernah lagi mendengar suaramu dan yang tertinggal hanya ingatan tentang baumu yang aku tidak tahu namanya itu.

*****

IA tidak suka diberi nama Lonely. Rasanya, dunia ini bertambah sepi sejak ia mulai memikirkan namanya itu. Orang-orang dalam kehidupannya terlalu sibuk. Bapak harus segera ke kantor. Kakak ada rapat di komunitas. Adik ingin jalan-jalan. Ibu ada janji dengan teman di restoran untuk urusan bisnis. Papa pulang dan pergi ke kantor lagi. Adik mau makan nasi goreng di luar. Kakak mau sate di warung Y karena rasanya enak sekali. Adik ingin jalan-jalan ke pantai. Kakak mau nonton pertunjukan seni. Di akhir pekan Bapak dan Ibu mesti menghadiri pernikahan A, B, C. Ah, masih ada pernikahan D di luar kota.

“Lonely, cepatlah! Kau ikut tidak?”

Lonely tidak suka buru-buru. Ia sedang memperhatikan bercak putih di kukunya.

“Lonely, kita terlambat!”

Lonely melihat seekor kelelawar menggantung di cabang pohon seri dari jendela kamarnya. Kelelawar yang berwarna malam. Bagaimana kelelawar bisa tiba di tengah kota yang sesak oleh bangunan ini? Lonely tak habis pikir.

“Kau sedang apa sih, Lonely? Huh, kok, lama sekali!”

Lonely kembali memperhatikan kukunya. Bercak putih itu seperti sebuah noda yang lahir dari rasa sepi. Aku sepi sekali, desah Lonely murung. Suara-suara yang memanggil namanya hilang. Lonely bangkit, melongokkan kepalanya keluar. Ia tak menemukan dunia masa kanak-kanaknya yang riuh itu dan seketika ia telah berdiri dengan sepasang kaki yang panjang—kaki perempuan dewasa berumur 25 tahun.

Ia pikir kakinya itu akan mampu membawanya ke tempat yang ramai oleh suara lain, suara yang tak buru-buru, dan sangat banyak warna, yang tak memungkinkannya merasa sendirian, yang membuatnya melupakan keinginannya berubah menjadi malam. Aku akan menggenggam semuanya! Aku akan bergembira selamanya! Lonely tersenyum semringah. Ia memoles kukunya dengan cat warna merah. Kuku-kukunya seketika menjadi buah stroberi yang masak sempurna. Mata Lonely terbuka karena takjub. “Rasa sepi sama sekali tak boleh pergi bersamaku,” katanya saat tak lagi menemukan noda putih di kuku yang mengganggu perasaannya. Lonely menutup jendela cepat-cepat dan kelelawar itu masih menggantung di sana dengan warnanya yang makin hitam.

Lonely berjalan. Terus berjalan. Ia sudah melewati seluruh tempat keramaian di kota. Namun, tidak ada tempat yang tak membuatnya merasa sepi. Kenapa aku bernama Lonely? protesnya dalam hati. Malam begitu cepat tiba. Ia merasa tak ingin kembali. Ia berjalan lagi. Ia masuk ke dalam pub yang memutar musik ingar-bingar dan kebanyakan orang di dalamnya dilahirkan dengan hati sepi. Ia tak bisa bertahan lama. Ia meninggalkan pub itu dan berada di pesta sekelompok anak muda yang gagal membahagiakan diri sendiri dan berencana membuat keributan di kota menjelang pagi. Ia menelepon pacarnya, tapi cepat ditutupnya kembali, karena ia tahu lelaki itu bahkan mesti menelan berbutir-butir pil untuk berdiri di depan orang lain tanpa rasa hampa.

Ia tegak di tepi jalan. Orang-orang berlalu lalang, tapi tak seorang pun melihatnya. Di kota ini, mata tak lagi digunakan untuk melihat orang lain. Ia sudah lama tahu itu. Dari kecil ia sudah mengerti mata bapaknya lebih senang menekuri kertas-kertas tugas kantor yang dibawa pulang ke rumah ketimbang menatap ia yang berdiri dengan baju tidur dan sebuah bantal.

“Kembali ke kamar dan tidur lagi sana, Lonely,” kata bapaknya tanpa memandang kepadanya.

“Lonely, ini sudah malam, cepat tidur ya,” kata ibunya sambil membuat coretan-coretan pada bundalan kertas di depannya.

Lonely menghapus sebutir air mata terakhir yang jatuh di pipinya. Semua sama saja, pikir Lonely. Tak ada orang yang menyenangkan di kota ini. Tak ada tempat yang tak membuatnya merasa sepi. Ia duduk di trotoar dan mulai membayangkan apa saja yang bisa ia lakukan. Ia benar-benar ingin berubah menjadi malam saja. Ia tidak tahu apakah menjadi malam akan menyenangkan baginya. Ia sudah pernah pura-pura menjadi babi, lalu badak, lalu cacing, lalu burung, lalu semut, lalu meja, lalu bolpoin bapaknya, lalu panci di dapur, lalu ia ingat lagi kelelawar di batang pohon seri kecil di dekat kamarnya. Kelelawar yang sehitam malam. “Aku mau menjadi malam saja biar bisa sembunyi dalam warnanya yang gelap,” katanya pelan, merasa tenteram.

*****

Aku datang ke rumahmu yang diselimuti rasa duka. Saat itu, aku belum mencium bau apa-apa. Suamimu meneleponku saat aku berada di lautan. Lelaki itu meninggalkan pesan dan aku segera membacanya saat aku selesai mencopot baju lautku yang selama ini memungkinkan aku menjelajahi duniaku yang maha dalam dan luas. Ia mati. Begitu isi pesan itu. Aku membacanya sekali lagi. Ia mati.

Aku mulai bertanya-tanya, dengan cara apa kau mengakhiri hidupmu? Apa kau minum puluhan pil atau sebotol cairan kimia seperti yang sering kau katakan kepadaku?

Ia mati. Kubaca sekali lagi.

Air mataku mulai menetes. Kau benar-benar mati. Aku tidak akan lagi melihatmu. Aku tidak akan lagi mendengar atau membaca pesanmu yang tiada henti itu: aku ingin mati.

Bagaimana rasanya mati? pikirku. Apa saat mati kau membayangkan dirimu segumpal malam yang terbang sangat perlahan ke ketinggian dan memilih tak kembali lagi? Apakah kau membawa serta perasaanmu yang selalu merasa sepi itu? Atau kau menjadi dirimu yang benar-benar berbeda? Kukemasi peralatan lautku dengan cepat. Aku tidak ingin ketinggalan. Aku ingin melihatmu terakhir kali sebelum kau diberangkatkan ke tempat tinggalmu yang baru. Kau akan dimasukkan ke dalam tanah. Apa kau sama sekali tidak cemas? Apa kau tidak keberatan bertetangga dengan begitu banyak cacing yang rakus dan berusaha keras berada sedekat mungkin denganmu? Di sana pasti saja tidak ada udara. Dadaku menjadi sesak memikirkanmu.

Lalu aku telah berdiri di dekat peti jenazahmu yang berwarna hitam dan tampak licin karena sentuhan pelitur. Kau tampak tenang sekali. Bibirmu terkatup kaku, tapi sama sekali tidak tampak murung. Kelopak matamu kelihatan lembut, serupa dua kelopak mawar yang tertelungkup.

Suamimu berkata di belakang telingaku, “Dia mati.”

Lelaki itu pasti saja terpukul. Ia tak percaya kau melakukannya. Kau menyimpan dengan sangat baik bagian tersepi dari hatimu. Kau tak pernah membiarkan orang lain benar-benar masuk ke dalam hidupmu selain aku. “Kenapa aku?” tanyaku waktu itu. “Karena kau anak lautan,” katamu, “dan aku adalah malam. Kita sama-sama orang yang aneh.”

“Dia mati,” kata lelaki itu lagi, dan kali ini lebih bergetar. “Ia begitu bahagia. Ia masih tertawa bersama anak-anak pada pagi hari. Ia singgah ke toko buku. Ia mau membuat pesta ulang tahunku bulan depan. Ia berencana membuka usaha baru. Ia orang yang sangat bersemangat selama aku mengenalnya.” Bahu lelaki itu terguncang-guncang dan ia berhenti bicara saat tangisnya terlepas.

Kau pernah bilang, “Suamiku lelaki baik.” Kini aku melihat air mata lelaki yang baik hati itu berjatuhan. Aku bisa mencium bau air matanya. Bau yang tidak aku tahu namanya. Pelan-pelan aku juga mencium baumu. Bukan bau peti jenazahmu, melainkan betul-betul baumu. Bau yang mungkin akan kuingat selamanya. Bau itu, hari ini, menguar dari batang-batang rumput yang dipotong di belakang rumah persinggahanku sebelum aku kembali ke lautan.

Apa nama baumu itu? Katakanlah sesuatu biar aku tak perlu lagi bertanya-tanya. Katakanlah sesuatu biar aku berhenti berpikir ingin mencopot baju lautku dan menenggelamkan diriku di lautan, sebab aku terlalu lelah memikirkan baumu, yang bisa muncul di mana-mana, di kapal, pasir, bunga, keong, daun, baju, sepatu, pindang ikan, bakso, minuman bersoda, kebun sayur, dan bau rumput yang dipotong itu, makin segar, makin aneh. Apa nama baumu? ***

Rumah Kinoli, 2017

YETTI A.KA, buku kumpulan cerpen terbarunya Pantai Jalan Terdekat ke Rumahmu (2017)

Posting Komentar untuk "Apa Nama Baumu? | Cerpen Yetti A. KA"