Iklan Atas

Blogger Jateng

Piknik | Cerpen Agus Noor


Para pelancong mengunjungi kota kami untuk menyaksikan kepedihan. Mereka datang untuk menonton kota kami yang hancur. Kemunculan para pelancong itu membuat kesibukan tersendiri di kota kami. Biasanya kami duduk-duduk di gerbang kota memandangi para pelancong yang selalu muncul berombongan mengendarai kuda, keledai, unta, atau permadani terbang dan juga kuda sembrani. Mereka datang dari segala penjuru dunia. Dari negeri-negeri jauh yang gemerlapan.

Di bawah langit senja yang kemerahan kedatangan mereka selalu terlihat bagaikan siluet iring-iringan kafilah melintasi gurun perbatasan, membawa bermacam perbekalan piknik. Berkarung-karung gandum yang diangkut gerobak pedati, daging asap yang digantungkan di punuk unta terlihat bergoyang-goyang, roti kering yang disimpan dalam kaleng, botol-botol cuka dan saus, biskuit dan telor asin, rendang dalam rantang—juga berdus-dus mi instan yang kadang mereka bagikan pada kami.

Penampilan para pelancong yang selalu riang membuat kami sedikit merasa terhibur. Kami menduga, para pelancong itu sepertinya telah bosan dengan hidup mereka yang sudah terlampau bahagia. Hidup yang selalu dipenuhi kebahagiaan ternyata bisa membosankan juga. Mungkin para pelancong itu tak tahu lagi bagaimana caranya menikmati hidup yang nyaman tenteram tanpa kecemasan di tempat asal mereka. Karena itulah mereka ramai-ramai piknik ke kota kami: menyaksikan bagaimana perlahan-lahan kota kami menjadi debu. Kami menyukai cara mereka tertawa, saat mereka begitu gembira membangun tenda-tenda dan mengeluarkan perbekalan, lalu berfoto ramai-ramai di antara reruntuhan puing-puing kota kami.

Kami seperti menyaksikan rombongan sirkus yang datang untuk menghibur kami.

Kadang mereka mengajak kami berfoto. Dan kami harus tampak menyedihkan dalam foto-foto mereka. Karena memang untuk itulah mereka mengajak kami berfoto bersama. Mereka tak suka bila kami terlihat tak menderita. Mereka menyukai wajah kami yang keruh dengan kesedihan. Mata kami yang murung dan sayu. Sementara mereka—sembari berdiri dengan latar belakang puing-puing reruntuhan kota—berpose penuh gaya tersenyum saling peluk atau merentangkan tangan lebar-lebar. Mereka segera mencetak foto-foto itu, dan mengirimkannya dengan merpati-merpati pos ke alamat kerabat mereka yang belum sempat mengunjungi kota kami.

Belakangan kami pun tahu, kalau foto-foto itu kemudian dibuat kartu pos dan diperjualbelikan hingga ke negeri-negeri dongeng terjauh yang ada di balik pelangi. Pada kartu pos yang dikirimkannya itu, para pelancong yang sudah mengunjungi kota kami selalu menuliskan kalimat-kalimat penuh ketakjuban yang menyatakan betapa terpesonanya mereka saat menyaksikan kota kami perlahan-lahan runtuh dan lenyap. Mereka begitu gembira ketika melihat tanah yang tiba-tiba bergetar. Bagai ada naga menggeliat di ceruk bumi—atau seperti ketika kau merasakan kereta bawah tanah melintas menggemuruh di bawah kakimu. Betapa menggetarkan melihat pohon- pohon bertumbangan dan rumah-rumah rubuh menjadi abu. Membuat hidup para pelancong yang selalu bahagia itu menjadi lengkap, karena bisa menyaksikan segala sesuatu sirna begitu saja.

Bagi para pelancong itu, kota kami adalah kota paling menakjubkan yang pernah mereka saksikan. Mereka telah berkelana ke sudut-sudut dunia, menyaksikan beragam keajaiban di tiap kota. Mereka telah menyaksikan menara-menara gantung yang dibuat dari balok-balok es abadi, candi-candi megah yang disusun serupa tiara; menyaksikan seekor ayam emas bertengger di atas katedral tua sebuah kota yang selalu berkokok setiap pagi. Mereka juga telah melihat kota dengan kanal-kanal yang dialiri cahaya kebiru-biruan. Kepada kami para pelancong itu juga bercerita perihal kota kuno yang berdiri di atas danau bening, dengan rumah-rumah yang beranda-berandanya saling bertumpukan, dan jalan-jalannya yang menyusur dinding-dinding menghadap air, hingga menyerupai kota yang dibangun di atas cermin; kota dengan jalan layang menyerupai jejalin benang laba-laba; sebuah kota yang menyerupai benteng di ujung sebuah teluk, dengan jendela-jendela dan pintu-pintu yang selalu tertutup menyerupai gelap anggur dan hanya bisa dilihat ketika senjakala. Bahkan mereka bersumpah telah mendatangi kota yang hanya bisa ditemui dalam imajinasi seorang penyair. Tapi kota kami, menurut mereka, adalah kota paling ajaib yang pernah mereka kunjungi.

Para pelancong menyukai kota kami karena kota kami dibangun untuk menanti keruntuhan. Banyak kota dibangun dengan gagasan untuk sebuah keabadian, tetapi tidak dengan kota kami. Kota kami berdiri di atas lempengan bumi yang selalu bergeser. Kau bisa membayangkan gerumbul awan yang selalu bergerak dan bertabrakan, seperti itulah tanah di mana kota kami berdiri. Membuat semua bangunan di kota kami jadi terlihat selalu berubah letaknya. Barisan pepohonan seakan berjalan pelan. Lorong-lorong, jalanan, dan sungai selalu meliuk-liuk. Dan ketika sewaktu-waktu tanah terguncang, bangunan dan pepohonan di kota kami saling bertubrukan, rubuh dan runtuh menjadi debu—serupa istana pasir yang sering kau buat di pinggir pantai ketika kau berlibur menikmati laut.

Rupanya itulah pemandangan paling menakjubkan yang membuat para pelancong itu terpesona. Para pelancong itu segera menghambur berlarian menuju bagian kota kami yang runtuh, begitu mendengar kabar ada bagian kota kami yang tergoncang porak-poranda. Dengan handycam mereka merekam detik-detik keruntuhan itu. Mereka terpesona mendengar jerit ketakutan orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri, gemeretak tembok-tembok retak, suara menggemuruh yang merayap dalam tanah. Itulah detik-detik paling menakjubkan bagi para pelancong yang berkunjung ke kota kami; seolah semua itu atraksi paling spektakuler yang beruntung bisa mereka saksikan dalam hidup mereka yang terlampau bahagia. Lalu mereka memotret mayat-mayat yang tertimbun balok-balok dan batu bata. Mengais reruntuhan untuk menemukan barang-barang berharga yang bisa mereka simpan sebagai kenangan.

Saat malam tiba, dan bintang- bintang terasa lebih jauh di langit hitam, para pelancong itu bergerombol berdiang di seputar api unggun sembari berbagi cerita. Memetik kecapi dan bernyanyi. Atau rebahan di dalam tenda sembari memainkan harmonika. Dari kejauhan kami menyaksikan mereka, merasa sedikit terhibur dan tak terlalu merasa kesepian. Bagaimanapun kami mesti berterima kasih karena para pelancong itu mau berkunjung ke kota kami. Mereka membuat kami semakin mencintai kota kami. Membuat kami tak hendak pergi mengungsi dari kota kami. Karena bila para pelancong itu menganggap kota kami adalah kota yang penuh keajaiban, kenapa kami mesti menganggap apa yang terjadi di kota kami ini sebagai malapetaka atau bencana?

Seperti yang sering dikatakan para pelancong itu pada kami, setiap kota memang memiliki jiwa. Itulah yang membuat setiap kota tumbuh dengan keunikannya sendiri-sendiri. Membuat setiap kota memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Keajaiban tersendiri. Setiap kota terdiri dari gedung- gedung, sungai-sungai, kabut dan cahaya serta jiwa para penghuninya; yang mencintai dan mau menerima kota itu menjadi bagian dirinya. Kami sering mendengar kota-kota yang lenyap dari peradaban, runtuh tertimbun waktu. Semua itu terjadi bukan karena semata-mata seluruh bangunan kota itu hancur, tetapi lebih karena kota itu tak lagi hidup dalam jiwa penghuninya. Kami tak ingin kota kami lenyap, meski sebagian demi sebagian dari kota kami perlahan-lahan runtuh menjadi debu. Karena itulah kami selalu membangun kembali bagian-bagian kota kami yang runtuh. Kami mendirikan kembali rumah-rumah, jembatan, sekolah, tower dan menara, rumah sakit-rumah sakit, menanam kembali pohon-pohon, hingga di bekas reruntuhan itu kembali berdiri bagian kota kami yang hancur. Kota kami bagaikan selalu muncul kembali dari reruntuhan, seperti burung phoenix yang hidup kembali dari tumpukan abu tubuhnya.

Kesibukan kami membangun kembali bagian kota yang runtuh menjadi tontonan juga bagi para pelancong itu. Sembari menaiki pedati, para pelancong itu berkeliling kota menyaksikan kami yang tengah sibuk menata reruntuhan. Mereka tersenyum dan melambai ke arah kami, seakan dengan begitu mereka telah menunjukkan simpati pada kami. Sesekali para pelancong itu berhenti, membagikan sekerat biskuit, sepotong dendeng, sebotol minuman, atau sesendok madu— kemudian kembali pergi untuk melihat-lihat bagian lain kota kami yang masih bergerak bertabrakan dan hancur.

Kemudian para pelancong itu pergi dengan bermacam cerita ajaib yang akan mereka kisahkan pada ke barat dan kenalan mereka yang belum sempat mengunjungi kota kami. Mereka akan bercerita bagaimana sebuah kota perlahan- lahan hancur dan tumbuh kembali. Sebuah kota yang akan mengingatkanmu pada yang rapuh, sementara, dan fana. Sebuah kota yang membuat para pelancong berdatangan ingin menyaksikannya.

Bila kau merencanakan liburan akhir pekan—dan kau sudah bosan piknik ke kota-kota besar dunia yang megah dan gemerlap—ada baiknya kau berkunjung ke kota kami. Jangan lupa membawa kamera untuk mengabadikan penderitaan kami. Mungkin itu bisa membuatmu sedikit terhibur dan gembira. Berwisatalah ke kota kami. Jangan khawatir, kami pasti akan menyambut kedatanganmu dengan kalungan bunga-air mata…

Yogyakarta, 2006

CATATAN:

1) Deskripsi kota-kota dalam paragraf ini mengacu pada karya Italo Calvino, Invisible Cities—telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Kota-kota Imajiner, oleh Erwin Salim (Fresh Book, 2006)