Iklan Atas

Blogger Jateng

Berkereta ke Surga | Cerpen Teguh Affandi


Pikirannya agak goyah seperti sebotol minuman soda yang dikocok berulang kali kemudian dibuka dan berhamburanlah semua isinya keluar. Mungkin karena Mulatin sudah tua dan seumur hidup tidak memiliki anak, demikian terkaan orang. Tapi sejatinya, musabab mengapa Mulatin sedemikian berang tiap ada hal kecil menganggu—misal lepek kopi yang dirubung semut, koran yang basah karena si loper koran melemparkan buru-buru dan mengenai genangan air hujan di emper rumahnya, atau tepung karambol yang makuk kuku dan susah dibasuh—ialah karena dua karib sejawatnya, Mudakir dan Muyasir, telah mati mendahuluinya.

Mulatin beserta Mudakir dan Muyasir adalah gerombolan yang semenjak muda gemar menyentil-nyentil biji karambol di pos ronda saban usai sembahyang isya. Mereka bertiga berkelakar tanpa mengenal waktu. Tak peduli kopi di gelas telah hampir tandas menyisakan ampas kental. Atau suara jangkrik malam mulai bersahutan pertanda malam hampir turun ke fajar. Kita habiskan malam sebelum malam ini mengunyah kita, demikian rayu Mulatin untuk mengikat Mudakir dan Muyasir yang memang dasarnya tak punya kemampuan bergadang setangguh Mulatin.

Mudakir mati awal tahun lalu. Mudakir memang sudah diindikasi memiliki penyakit jantung. Mulatin mencatat setelah Mudakir memasuki masa pensiun dari dinas kebersihan kota dengan jabatan yang tak sekalipun menandakan merangkak naik, sudah tiga kali Mudakir dilarikan ke rumah sakit karena nyeri di dada dan serangan jantung ringan. Tapi Mudakir mati bukan karena jantung.

Pagi nahas itu, Mulatin memberi Mudakir susu fermentasi yang memang digemari setelah masuk masa tua. Susu fermentasi itu diminum Mudakir sekali teguk, kemudian dilanjut derai tawa yang tak berkesudahan. Kata Mudakir, mirip air tajin dicampur dengan sirup coco pandan. Tawa mereka kembali renyah. Sesaat sebelum Mulatin pamitan, Mudakir merasa perutnya penuh. Dan tak berselang lama, Mudakir terjatuh dari kursi.

Mudakir seketika mati. Bukan karena jantung melainkan angin duduk yang mendadak datang seperti mendung. Dan itu membuat Mulatin benar-benar diterpa badai kesedihan. Seperti yang sudah menjadi hukum alam, Mulatin kemudian lebih sering menghabiskan waktu malam bersama Muyasir entah bermain karambol, meski kehilangan sosok Mudakir yang gemar melontarkan lelucon cadas, atau duduk-duduk di emperan rumah sambil menunggu penjual nasi goreng tengah malam, lantas keduanya memakan nasi goreng satu porsi untuk berdua.

Muyasir sepertinya buru-buru menyusul Mudakir. Muyasir meski tak memiliki indikasi penyakit jantung laiknya Mudakir, tapi dia mati karena serangan jantung secara mendadak suatu pagi, saat dia baru saja membuka pagar depan rumahnya dan seekor burung kolibri warna hitam pekat menghambur ke wajah dan mematuk ujung hidung Muyasir. Dia terkejut dan ucapannya—jantungku copot—benar-benar kejadian karena Muyasir mati dengan diagnosa dokter sebagai serangan jantung.

Sejak itulah Mulatin seolah hidup jatuh ditimpa langit runtuh. Permainan karambol dan gelas kopi di malam, sudah tak lagi mempan membuatnya bungah. Sesekali memang anak-anak muda menemani Mulatin bermain karambol sambil nyanyi-nyanyi, genjrang-genjreng. Tapi tidak ada yang bisa menggantikan Mudakir dan Muyasir di depan Mulatin. Tali perkawanan kalau kadung kencang bisa mengikat hingga membekas di sekujur badan.

Istrinya sering dikasih masukan agar sesekali mengajak Mulatin berlibur untuk mengendorkan ketegangan dalam syaraf Mulatin. Siapa saja pastilah akan terguncang bila dua teman dekatnya mati dalam jarak yang tidak terlalu lama—Muyasir mati tepat saat peringatan seratus hari matinya Mudakir. Dalam pikiran Mulatin tentu tumbuh sebuah prasangka bahwa dia pasti segera menyusul kedua karibnya itu. Karena ikatan hati mereka sudah demikian kencang, hingga maut untuk ketiganya tak terlalu lama berselang.

Keinginan semakin meneror sanubari istrinya, saat suatu malam Mulatin mengigau dan menderas kata-kata yang seram. Mudakir, Muyasir, aku akan menyusulmu. Yuk, kita main karambol di pelataran surga.

Sebelum terlanjur dengan igauan-igauan yang lebih menyeramkan, istrinya gegas membangunkan Mulatin yang kuyup seperti digebyur keringat.

“Meludah tiga kali ke kiri,” kata istrinya mengagetkan Mulatin. Mulatin masih belum ngeh dengan anjuran istrinya yang serba mendadak itu.

“Meludah tiga kali,” kata istrinya sekali lagi. Mulatin seperti robot menuruti. Wajahnya masih plonga-plogo belum ngerti. “Kamu baru saja mimpi buruk dan anjuran nabi, meludah ke kiri tiga kali,” istrinya menjelaskan.

“Mimpi buruk apa? Aku nggak kerasa?” tanya Mulatin.

“Kamu baru saja ngelindur. Dan aku ngeri sekali, mangkanya kubangunkan segera,” istrinya bangun dan mengambilkan segelas air putih dari cerek kaca bening di meja kamar mereka. Mulatin meneguk hingga tandas. Setelah mengelap keringat di badan hingga kasat, dia kembali tidur dengan membalik bantal lebih dulu dan menarik selimut hingga dada. Sedangkan istrinya justru terus terjaga dengan gangguan soal Mulatin.

Paginya, seperti yang Mulatin biasa kerjakan, dia membaca koran pagi dan kemudian berjalan-jalan seputar komplek untuk sekadar menyapa anak-anak muda yang menganggur tak punya pekerjaan. Mulatin sering memberi mereka banyak nasihat.

Sebaliknya, selama Mulatin pergi, istrinya disibukkan dengan rencana siang nanti untuk ziarah ke makam Syaih Jangkung, wali tersohor yang sering dijadikan tempat rujukan wisata ruhani. Dia telah memesan mobil sewaan dan memasak bekal makan siang.

“Mungkin Mulatin butuh wisata penyejuk hati,” gumam istrinya.

Pukul delapan, Mulatin pulang dengan wajah yang penuh angkara. Seolah dia baru saja ikut adu-gebuk dengan para preman yang suka menodongkan cutter kepada ibu-ibu di pasar. Gerbang depan dibanting. Suaranya membuat geger dada istrinya. Sungut-sungut amarah meruncing di kepala Mulatin.

“Ada apa, Pak?”

Mulatin masih meracau dan menyebut-nyebut kata-kata tak patut.

“Pagi-pagi kok sudah marah.”

“Anak-anak muda itu kurang ajar!”

“Siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan yang suka cakrukan di pos dan nggak ada kerjaan itu!”

“Bapak emang diapain?”

“Mereka itu nggak sopan sama orang tua.”

“Kan memang mereka seperti itu. Dan bapak sudah hapal betul tabiat mereka. Bapak sendiri sering ngajak main karambol mereka.”

Mulatin wira-wiri di sekitar ruang tamu.

“Mereka mulutnya kayak kawah magma saja. Panas! Masak sama orang tua nggak sopan. Bilang aku bau kafan, sebentar lagi nyusul Mudakir dan Muyasir. Bener-bener kurang ajar!”

Istrinya mengelus punggung Mulatin. Tangan keriputnya berjumpa dengan geronjalan tulang punggung Mulatin yang menonjol karena kehabisan daging. Sabar dan sabar, itu yang bisa diucapkan oleh istri Mulatin.

“Aku cuma bilang, kalau pagi-pagi jangan tidur ngorok di pos. Nggak enak dilihat orang. Mending tidur di rumah. Kayaknya mereka mabok, terus mereka melempar biji karambol ke mukaku. Diiringi dengan cercaan keji.”

Istrinya baru mau membalas, Mulatin kemudian beranjak ke luar. “Aku mau ke rumah Pak Ustaz Jazuli. Mau ngadem,” kalimat itu membuat istri Mulatin sedikit lega. Daripada marah-marah di rumah, lebih baik membawa api itu di sumber adem, rumah Ustaz Jazuli.

Mulatin meyambar kemeja putih yang tergantung dan berjalan ke stasiun dekat rumahnya. Mulutnya memuntahkan ucapan kotor dan ludah bebarengan. Rumah Ustad Jazuli ada di Ciganjur, Mulatin akan naik kereta dari Pondok Cina.

Amarah benar-benar membuat daging di tubuhnya meleleh. Panas dan mengebul. Kalau saja bisa, sudah ditelan apa saja yang ditemui Mulatin di sepanjang jalan. Dia masuk kereta yang penuh tapi tak terlalu sesak. Dia masih bisa berdiri di sela-sela penumpang yang sibuk dengan gawai di tangan masing-masing. Gelontoran pendingin di gerbong kereta tak cukup menurunkan suhu pitam di dada Mulatin.

“Dimohon untuk memberi prioritas kursi kepada lansia!” suara peringatan dari kereta.

“Aku masih muda! Kuat berdiri sampai tujuan! Ambil dan makan itu kursi! Tak butuh itu kursi.”

Dalam gerbong terhenyak. Mata-mata orang tertuju pada Mulatin penuh curiga. Mulatin masih mencaci-caci semua yang bisa dia caci. Kemudian seorang gadis muda berpakaian serba biru tua menuntun Mulatin dan mendudukkannya. Senyum gadis itu cukup membungkam sebentar amarah Mulatin. Tapi gumaman berisi kalimat kotor masih dilontarkan.

“Aku masih kuat! Aku masih muda! Semua orang bisa mati, yang muda dan tua siapa yang tahu. Kalian akan tahu rasanya menjadi tua saat gigimu rontok, dan kakimu tremor! Sialan kalian semua!”

Terus. Terus. Dan terus. Mendadak Mulatin terduduk tidur. Mendengkur dan ngiler, mungkin karena lelah mengumpat atau angin dingin ditambah tempat duduk nyaman.

“Mulatin! Akhirnya kamu sampai juga.”

“Kami sudah menunggumu.”

“Mudakir dan Muyasir! Apa aku sudah mati?”

“Belum,” jawab Mudakir.

“Terus aku dimana?”

“Ini yang dulu sering kamu impikan. Kita akan main karambol di pelataran surga.”

“Ini surga?”

“Iya!”

Seketika Mulatin terbangun. Dia kaget hampir terjatuh. Dan semakin kagetlah Mulatin, setelah dilihat gerbong kereta yang semula biasa-biasa saja kini semua tampak lebih indah dan berkilau. Dilapisi rumput warna hijau dan pohon-pohon perdu yang mbenteyong dipenuhi buah ranum. Dan, semuanya yang menumpang kereta berpakaian serba putih, wajahnya bersih dan putih hingga urat-urat vena terpantul, dan mereka berjalan mengambang.

Mulatin mecubit pipinya sendiri. “Apa ini masih di surga?” Tapi deru kereta melenyapkan semua tanda tanyanya. (92)